Puasa merupakan salah
satu dari kewajiban agama yang dibebankan Allah kepada umat islam. Kewajiban
ini adalah dasar bagi pembentukan karakter umat muslim dalam membangun
kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Karakter tersebut adalah ketaqwaan sikap
dan perilaku umat islam, seperti dikatakan oleh Al-Qur’an ,QS.2:183; ….la’allakum
tattaquun.
Sebagai kewajiban, puasa
berkedudukan sama dengan ibadah ritual lainnya dalam hal status hukumnya.
Artinya, bahwa puasa adalah bagian dari piranti agama yang utama disamping
ibadah lainnya semisal ibadah sholat, zakat, juga ibadah haji. Ini artinya ada
konsekwensi hukum bagi yang mengerjakan maupun yang meninggalkan bahkan bagi
yang mengingkari hukum melaksanakan ibadah puasa.
Namun demikian puasa
bukan semata-mata ibadah ritual yang tidak memiliki dimensi sosial didalam
dirinya. Sebagaimana puasa merupakan ibadah dalam rangka Hablun Min Allah,
hubungan vertical antara hamba pada Allah ataupun hubungan balik Allah terhadap
hambaNya, seperti dalam hadits Qudsi,” As-shoumu lii wa ana ajzii bih”.
Puasa itu untukKu dan Aku yang akan memberi balasan, puasa memiliki muatan
nilai Hablun Min An-Nas, yaitu hubungan antar manusia. Bila efek
ritualitas ibadah sholat itu secara social dapat mencegah terjadinya
kemungkaran (chaos)-alfahsya’ wa al-munkar- dalam masyarakat maka pengaruh
psiko-social ibadah puasa adalah kesadaran masing-masing anggota masyarakat
dalam kedudukan social mereka, yaitu lunturnya stratifikasi social sebab rasa
lapar dan haus si kaya (the have) dan si miskin (the poor) saat bersama-sama
menjalankan ibadah puasa Pendek kata puasa dapat menyadarkan kesetaraan
sekaligus menghilangkan society class sistem.
Al-qur’an sendiri
menyatakan dalam QS:2;184; ,”wa ‘alaa allidziina yutiiquunahu fidyatun tho’amu
miskiin”, artinya ,”dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, memberi makan seorang miskin”. Fidyah
itu semacam kompensasi bagi orang yang mengalami keadaan berat.untuk
menjalankan puasa.. Pengertian ayat ini menunjukkan bahwa bahwa “kompensasi”
fidyah diberlakukan manakala seseorang tidak mampu berpuasa karena factor yang
dibenarkan oleh agama dengan memberikan sebagian kebutuhan hidupnya kepada
fihak yang membutuhkan. Disini sekali lagi bahwa ibadah puasa mengajarkan
seseorang untuk memiliki kepekaan terhadap linkungan social.
Dalam satu hadits rasul
dikisahkan bahwa para sahabat nabi yang berpuasa mendapat bantuan makanan dari
sahabat lainnya yang tidak berpuasa. Ini adalah satu kasus dimana ibadah puasa
dapat membangun solidaritas dan kesetiaan sosial antar sahabat serta empati
social. Oleh karena itu tepatlah sikap yang diambil oleh Rasul yang membenarkan
Salman ketika ia menegur saudaranya – abu darda’- yang meninggalkan urusan
dunia karena tenggelam “spiritualitas individul” dalam ibadah puasa.
Sebagai penutup ada
baiknya kita ingat hadits Rasul yang berbunyi: ,”Laisa minnaa man lam yarham
shoghiirona wa laa yuwaqqir haqqo kabiriinaa”. Bukanlah termasuk golongan kami
seseorang yang tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak menghargai hak yang
lebih tua.
Selamat berpuasa